berita-online.id ,Internasional – Hubungan antara Israel dan beberapa negara Barat—khususnya Prancis, Jerman, dan Australia—kini tegang akibat isu Palestina. Ketegangan memuncak karena ketiganya mengambil langkah diplomatik atau kebijakan yang dipandang menentang tindakan Israel.
Ketegangan Israel dengan Prancis bermula ketika Presiden Emmanuel Macron mengungkapkan rencana pengakuan Negara Palestina pada September.
Baca Juga : Ledakan di Pabrik Bahan Peledak Rusia Tewaskan 20 Orang, 134 Lainnya Terluka
Dengan Jerman, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan kekecewaannya atas keputusan negara itu menangguhkan ekspor senjata yang berpotensi digunakan dalam perang yang dilancarkan Israel di Gaza.
Keretakan hubungan Israel dan Australia bermula ketika pemerintah PM Anthony Albanese mengumumkan siap mengakui Negara Palestina secara bersyarat pada September. Perselisihan kemudian kian meruncing setelah Canberra membatalkan visa anggota Knesset (parlemen Israel) Simcha Rothman.
Berikut ulasan pertikaian Israel dengan ketiga sekutunya berlatar isu Palestina.
Israel Vs Prancis
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/1797090/original/049684000_1512973255-AP17344631788865.jpg)
Macron mengecam Netanyahu atas pernyataannya yang mengklaim bahwa antisemitisme telah melonjak di Prancis menyusul keputusan Prancis untuk mengakui Negara Palestina.
Dalam pernyataan yang dirilis Selasa (19/8) malam, menolak klaim Netanyahu.
“Analisis yang menyebutkan bahwa keputusan Prancis untuk mengakui Negara Palestina pada September berada di balik meningkatnya kekerasan antisemitisme di Prancis adalah keliru, menjijikkan, dan tidak akan dibiarkan begitu saja,” bunyi pernyataan kantor presiden Prancis, yang dirilis Selasa (19/8) malam, seperti dilansir The Guardian.
“Periode saat ini menuntut keseriusan dan tanggung jawab, bukan generalisasi dan manipulasi.”
Hubungan antara kedua pemimpin telah tegang sejak Juli. Pada waktu itu, Macron mengumumkan bahwa Prancis akan mengakui Negara Palestina pada Sidang Majelis Umum PBB bulan depan, dengan harapan membawa perdamaian ke kawasan.
Netanyahu, yang saat ini dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Gaza, mengkritik keputusan tersebut dengan mengatakan bahwa Prancis memberi imbalan atas teror.
“Sebuah Negara Palestina dalam kondisi seperti ini akan menjadi basis serangan untuk melenyapkan Israel – bukan untuk hidup damai di sisinya,” ujarnya.
Awal pekan ini, Netanyahu mengirimkan surat kepada Macron. Dalam surat itu dia menuduhnya tidak melakukan cukup banyak untuk menghadapi peningkatan mengkhawatirkan antisemitisme di Prancis.
“Seruan Anda untuk pengakuan Negara Palestina menambah bahan bakar pada api antisemitisme ini,” tulisnyaaa.
Menanggapi tuduhan tersebut, kantor Macron menegaskan bahwa Prancis melindungi dan akan selalu melindungi warganya yang Yahudi. Kantor presiden menambahkan bahwa sejak 2017, Macron secara sistematis mewajibkan pemerintah untuk mengambil tindakan sekuat mungkin terhadap pelaku tindakan antisemitisme.
Data terbaru dari Kementerian Dalam Negeri Prancis menunjukkan adanya 504 tindakan antisemitisme yang dilaporkan di seluruh negeri antara Januari dan Mei tahun ini. Angka itu menandakan penurunan sebesar 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski demikian, jumlahnya tetap tinggi, yakni dua kali lipat dibandingkan insiden yang dilaporkan pada periode yang sama tahun 2013. Anggota komunitas Yahudi di Prancis, yang merupakan salah satu komunitas terbesar di dunia, berulang kali memperingatkan bahwa tindakan antisemitisme meningkat sejak Israel melancarkan perang di Gaza sebagai respons terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Israel Vs Jerman
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4373616/original/042892900_1679963213-Israel-Netanyahu-AFP-800x500-780x470.jpg)
Jerman, dengan latar belakang sejarah Holocaust, telah lama memiliki “hubungan khusus” dengan Israel dan konsisten menjadi salah satu pendukung terkuatnya— tanpa memandang pemerintahan dari kubu mana yang sedang berkuasa.
Namun, kini Kanselir Jerman mengindikasikan adanya pergeseran signifikan dari dukungan kuat Berlin terhadap Israel dengan menghentikan ekspor peralatan militer yang dapat digunakan di Gaza, seiring dengan kecaman dari mitra internasional atas rencana Israel untuk mengambil alih Gaza sepenuhnya.
Friedrich Merz pada awal Agustus mengeluarkan pernyataan bernada tajam yang menandai perubahan kebijakan tersebut. Selama beberapa minggu sebelumnya, dia secara terbuka mengkritik tujuan kebijakan Israel yang dianggap tidak jelas di Gaza dan bencana kemanusiaan yang terjadi, namun kritik itu tidak diikuti dengan langkah kebijakan konkret.
Pemimpin Jerman itu mengatakan Israel berhak membela diri dari Hamas dan memperjuangkan pembebasan sandera, namun pada saat bersamaan menekankan bahwa hal itu merupakan prioritas tertinggi dan demikian pula dengan perundingan sungguh-sungguh mengenai gencatan senjata.
Bagaimanapun, Merz seperti dilansir The Guardian mengatakan pemerintahnya meyakini bahwa aksi militer yang lebih keras di Gaza membuat semakin sulit untuk melihat bagaimana tujuan-tujuan itu dapat tercapai.
“Dalam keadaan seperti ini, pemerintah Jerman hingga pemberitahuan lebih lanjut tidak akan menyetujui ekspor peralatan militer apa pun yang bisa digunakan di Jalur Gaza,” tegas Merz.
Merz mengaku pemerintahannya sangat prihatin atas penderitaan terus-menerus yang dialami penduduk sipil di Gaza.
“Dengan serangan militer yang direncanakan, pemerintah Israel memikul tanggung jawab yang lebih besar daripada sebelumnya untuk memastikan kebutuhan penduduk sipil terpenuhi,” ujarnya.
Netanyahu mengkritik langkah tersebut. Dia menyebut bahwa dengan memberlakukan embargo senjata terhadap Israel, Jerman menguntungkan Hamas.
Melansir DW, dari tahun 2020 hingga 2024, Jerman menyumbang sekitar sepertiga dari pasokan senjata yang masuk ke Israel. Pasokan senjata Jerman ke Israel mencakup kendaraan lapis baja, truk, senjata antitank, dan amunisi.
Israel Vs Australia
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4567243/original/018592300_1694082606-20230907-Pertemuan_Bilateral_Indonesia_Australia-AP_3.jpg)
Australia adalah salah satu negara pertama yang mengakui Israel pada tahun 1949 dan selama ini menjadi salah satu pendukung terkuatnya.
Kini, kedua negara itu terjebak dalam perang kata-kata dan saling memberlakukan pembatasan visa, dalam sebuah eskalasi dramatis dari perselisihan diplomatik mereka.
Semua itu bermula ketika PM Albanese pada 11 Agustus menyatakan bahwa Australia akan mengakui Negara Palestina pada Sidang Majelis Umum PBB bulan depan. Situasi di Gaza, tambahnya, telah melampaui ketakutan terburuk dunia.
Seminggu kemudian, pemerintah Australia membatalkan visa Simcha Rothman, anggota Knesset dari partai sayap kanan ekstrem Zionisme Religius, yang dikenal menentang kenegaraan Palestina dan mendukung pencaplokan penuh Tepi Barat oleh Israel.
Rothman dijadwalkan berkunjung ke Australia atas undangan sebuah organisasi Yahudi konservatif. Namun, visanya dicabut oleh Menteri Dalam Negeri Tony Burke hanya 24 jam sebelum dia dijadwalkan tiba.
“Jika Anda datang ke Australia untuk menyebarkan pesan kebencian dan perpecahan, kami tidak menginginkan Anda di sini,” kata Burke kepada media lokal mengenai larangan visa tersebut, yang menolak masuk legislator Israel itu selama tiga tahun, seperti dilansir The National News.
Langkah itu dilakukan sebagai respons atas pernyataan provokatif Rothman, termasuk menyebut anak-anak Palestina sebagai musuh dan klaimnya bahwa kenegaraan Palestina akan membawa pada kehancuran Israel.
Pada hari yang sama ketika perjalanannya dibatalkan, Israel membalas dengan mencabut visa para diplomat Australia untuk Otoritas Palestina.
“Saya telah memutuskan untuk mencabut visa tinggal perwakilan Australia untuk Otoritas Palestina,” kata Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar dalam unggahannya di platform media sosial X. “Saya juga memerintahkan Kedutaan Besar Israel di Canberra untuk memeriksa dengan cermat setiap aplikasi visa resmi dari Australia untuk masuk ke Israel.”
Pada akhirnya, dia juga menuduh pemerintahan Albanese memilih untuk memicu antisemitisme.
Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menyebut langkah Israel tidak dapat dibenarkan dan bahwa Israel sedang melemahkan upaya internasional menuju perdamaian dan solusi dua negara.
Netanyahu kemudian menyerang langsung Albanese, menuduhnya telah mengkhianati Israel.
“Sejarah akan mengingat Albanese apa adanya: seorang politikus lemah yang mengkhianati Israel dan meninggalkan Yahudi Australia,” tulis Netanyahu di X.
PM Albanese seolah tidak terpengaruh oleh kritik Netanyahu.
“Saya tidak menanggapi hal-hal seperti ini secara pribadi. Saya menjalin hubungan dengan orang lain secara diplomatis. Lagi pula, ia juga pernah mengucapkan hal-hal serupa kepada para pemimpin lainnya,” kata Albanese dalam sebuah pengarahan media.
Burke memberikan respons yang lebih keras terhadap Netanyahu.
“Kekuatan tidak diukur dari berapa banyak orang yang dapat Anda hancurkan atau dari berapa banyak anak yang dapat Anda biarkan kelaparan,” ujarnya, menandai pernyataan yang dianggap sebagai kritik paling tajam sejauh ini terhadap Israel.