NasDem: Putusan MK soal Pemilu Terpisah Bisa Bikin Krisis Konstitusional

Jakarta – Partai NasDem mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah. NasDem menilai putusan MK tersebut dapat menyebabkan krisis konstitusional dan deadlock constitusional apabila dilaksanakan.

“Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock constitutional. Sebab, apabila putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi,” kata Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat dalam konferensi pers di Kantor NasDem Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).

Dia menjelaskan Pasal 22E UUD 1945 menyatakan pemilu untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Sementara itu, putusan MK terbaru menyatakan bahwa pemilu nasional dan daerah dilakukan terpisah dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

“Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional,” ujar Lestari.

MK Ambil Kewenangan Legislatif

Menurut dia, MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). Lestari menyebut, MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis.

“Dan (MK) tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” tutur dia.

Selain itu, kata Lestari, MK melanggar prinsip kepastian hukum yakni, prinsip hukum yang tidak mudah berubah dan putusan hakim harus konsisten. Dia mengingatkan putusan hakim yang berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

“Dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum,” pungkas Lestari.

MK Kabulkan Permohonan Perludem

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.

Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

Putusan MK

Secara lebih rinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *